Matahari sudah mulai condong ke barat, ketika mini bus yang penulis tumpangi menerobos jalan bebatuan menuju Lembang Tumbang Datu di Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja, akhir tahun lalu. Rasa penasaran yang tinggi akan kehebatan cerita upacara adat kematian Rambu Solo’ yang sudah mendarah daging di masyarakat Toraja menjadi pembanding akan kebosanan menempuh perjalanan yang sungguh tak mengenakan diatas mini bus.
Sekitar 45 menit perjalanan dari Makale, ibu kota Tana Toraja, Sulawesi Selatan akhirnya tiba juga di lokasi perayaan rambu solo’. Bayangan akan suasana mengharu biru yang akan nampak dalam setiap kematian, nyatanya tidak selalu benar dalam untuk masyarakat Toraja. Lebih terlihat sebagai ajang silaturahmi yang mempertemukan sanak saudara yang sudah lama tak bertemu, dan memang itulah salah satu tujuan perayaan kematian rambu solo’ yang merupakan warisan megalitukum atau zaman batu itu.
Upacara adat rambu solo’ di Sangalla’ yang penulis datangi adalah keluarga besar Tongkonan Karuaya Tumbang Datu dengan generasinya yang kesekian. Almarhum Johanis Ne’ Rapa’ atau lebih sering disapa dengan panggilan Ne’ Rapa’-lah yang upacaranya saat ini dirayakan oleh keluarga. Meninggal dunia Maret 2010 dalam usia yang ke 75 tahun, tubuh Ne’ Rapa’ yang sudah sembilan bulan berada didalam rumahnya di pinggiran Kecamatan Sangalla’ diturunkan dan digirin menempati tongkonan keluarganya yang berjarak 3 kilometer.
Di Toraja atau di Bumi Lakipadada, dengan upacara adat rambu solo’-nya, setiap langkah yang dilakukan memiliki makna dan nama tersendiri. Seperti penurunan mayat tersebut, disana disebut sebagai ma‘popengkalo alang yang bermakna kematian yang dialami seseorang telah memasuki fase-fase terakhir. Satu yang unik dari setiap kematian yang terjadi di Toraja, seseorang yang meninggal dunia seperti Ne’ Rapa’ tadi yang terjadi beberapa bulan bahkan tahun lalu, masih dianggap hidup sebelum menyelesaikan upacara adat rambu solo’.
Selama berbulan-bulan, tubuh yang kaku tersebut disimpan diatas rumah dan diperlakukan layaknya orang hidup. Diberi makan, minum, diberi pakaian, bahkan harus ditemani bercerita setiap saat. Karena menurut keyakinan leluhur orang Toraja, orang mati itu tidak dianggap mati tetapi sedang sakit dan lemah. Baru setelah diselenggarakan upacara rambu solo’ dengan mengorbangkan kerbau dan babi orang tersebut dianggap pergi untuk selamanya.
Kebudayaan orang Toraja memang tergolong kuat. Warisan-warisan leluhur mereka masih tetap dipertahankan hingga saat ini, padahal sebagian besar orang Toraja telah memiliki agama dan keyakinan, namun adat dan kebiasaan dalam setiap upacara tetap dipertahankan. Jumlah pemeluk agama ‘nenek moyang’ atau lebih dikenal dengan sebutan aluk todolo di Toraja tinggal sedikit, kalau pun ada hanya yang berada dipedalaman yang jauh.
Namun upacara-upacara adat seperti upacara kematian masih dilaksanakan, walau ada beberapa hal yang membedakan atau sengaja dihilangkan karena biasanya bertentangan dengan keyakinan orang tersebut. Seperti Ne’ Rapa’ yang telah memeluk agama Katolik, atraksi budaya sisemba atau adu kaki dihilangkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama Ne’ Rapa’, namun kebiasaan mappasilaga tedong atau adu kerbau tetap dilakukan dan menjadi hiburan bagi keluarga dan masyarakat sekitar.
Secara umum, upacara rambu solo’ atau upacara penyempurnaan kematian menurut keyakinan orang Toraja, memiliki tujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Maka dari itu, rambu solo’ bagi mereka merupakan kewajiban sehingga dengan cara apapun upacara ini akan dilaksanakan sebagai persembahan terakhir bagi orang tua mereka.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi.
Dulunya, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah lapangan khusus. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Ada juga atrakasi budaya yang dipertontonkan, di antaranya adu kerbau (mappasilaga tedong), dimana kerbau-kerbau yang akan dikorbankan terlebih dahulu diadu dan menjadi hiburan masyarakat, adu kaki (sisemba) yang biasanya dilakukan oleh dua kelompok masyarakat untuk mempertahankan harga diri, belakangan atraksi ini dihilangkan.
Sementara itu upacara rambu solo’ juga harus dipentaskan beberapa musik tradisional, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong, serta beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Satu hal yang menarik karena kerbau yang disembelih dengan cara yang unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yakni menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 100-350 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.
Kebiasaan masyarakat Toraja menguburkan mayat di lereng bukit bebatuan ternyata punya makna tersendiri. Mereka percaya, dengan menguburkan mayat dibebatuan tidak akan merusak lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat setempat. “Kita tidak ingin merusak lahan produktif yang ada, makanya lereng bebatuan menjadi tempat yang pas untuk menguburkan mayat,” ungkap Paulus Pasang Kanan, Tokoh Adat Tana Toraja.
Di Toraja sendiri, ada lima cara pemakaman yang dilakukan yakni erong atau kuburan yang terbuat dari kayu yang diselipkan kedalam bebatuan, liang pahat yakni gunung batu yang sengaja dipahat untuk menyimpan mayat, pattahe yang juga dilakukan di gunung bebatuan namun menempati gua yang sudah terbentuk, ada pula cara penguburan pia untuk anak kecil berusia kurang dari lima tahun yang diselipkan kedalam kayu hidup yang tengahnya dilubangi lalu ditutup kembali sehingga tidak nampak jika itu adalah kuburan, serta yang terakhir dengan cara penguburan tanah yang lasim dilakukan masyarakat beragama muslim di Toraja.
Jika ingin menyaksikan upacara adat rambu solo’ tersebut, pemerintah setempat telah mengatur jadwal khusus setiap akhir tahun. Even yang diberi nama Lovely Desember tersebut telah memberika kemudahan bagi setiap wisatawan untuk menjelajahi pagelaran adat yang dilakukan. Jadi, datanglah ke Toraja saat akhir tahun, ada banyak kejutan di bumi Lakipadada tersebut.