Berbeda dengan anak-anak jaman sekarang yang hanya mengenal beragam permainan elektronik, sewaktu saya kecil kecil dulu harus melakukan sedikit usaha sebelum bisa menikmati sebuah permainan. Mulai dari mencari pelepah pisang untuk dibuat layaknya pistol-pistolan, menggunakan kaleng yang diikat karet di sebuah kayu untuk dijadikan mobil-mobilan, sampai menggunakan batang bambu untuk seseruan di permainan egrang. Lantaran dibuat dengan menggunakan keringat sendiri, rasanya permainan tersebut berlangsung sangat seru. Sehingga kerap tak sadar mentari sudah mulai berlabuh ke peraduan.
Egrang sejatinya dimainkan oleh anak-anak hampir di seluruh penjuru Indonesia namun dengan julukan yang berbeda. Mulai dari Tengkak-Tengkak di Sumatera Barat, Ingkau di Bengkulu, Batungkau di Kalimantan Selatan hingga Tilako di Sulawesi Tengah. Kendati memiliki perbedaan nama, namun media permainannya tetap sama. Menurut Baosastra Djawa karangan W.J.S Poerwadarminto terbitan tahun 1939, egrang-egrangan berarti dolanan atau permainan yang menggunakan batang kayu atau bambu yang diberi pijakan untuk berjalan.
Dengan menggunakan dua bilah bambu apus atau wulung yang lurus dan sudah tua sepanjang 2 meter yang dilubangi dengan jarak sekitar 30 – 50 cm (atau bisa lebih tinggi jika yang memainkannya punya nyali). Lubang tersebut dilesakkan potongan bamboo lain sepanjang 20 – 30 cm untuk dijadikan pijakan. Pemilihan bambu sebagai media kreasi bisa jadi karena material tersebut mudah dijumpai di lingkungan sekitar tempat mereka tinggal atau bahkan di tepian sungai.
Jika di Pulau Jawa Egrang hanya dipakai pada sebuah permainan biasa tanpa diimbuhi aura kompetisi, di Sulawesi Tengah, Tilako atau Egrang diklasifikasikan menjadi dua permainan. Adu balap atau saling menjatuhkan dengan cara saling memukul kaki bambu. Dalam permainan adu balap Tilako, masing-masing pemain berdiri di atas garis yang sama dan saling pacu menuju ke garis finish. Pemain yang lebih dulu mencapai finish otomatis akan menjadi pemenang. Sementara di permainan lainnya, dua orang pemain yang mendapat giliran akan saling berhadapan dan berusaha saling menjatuhkan dengan cara mengadu kaki bambu. Pemain yang mampu bertahan di atas Tilatolah yang jadi pemenang.
Namun sayangnya, belakangan permainan Egrang tampak kurang diminati. Selain disebabkan maraknya permainan-permainan elektronik, menjamurnya berbagai pusat perbelanjaan yang biasanya dilengkapi dengan pusat permainan juga mengakibatkan permainan tradisional seperti Egrang menjadi kian tersingkirkan. Untungnya masih ada segelintir orang yang peduli terhadap kelesatrian Egrang masih memainkannya walau hanya di gelaran-gelaran tertentu. Seperti perayaan Hari Kemerdekaan alias 17-an dan kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Jangan biarkan permainan ini punah termakan zaman ya..