Antibiotik |
Hasil survei yang dilakukan oleh Health Protection Agency (HPA) tersebut dilakukan di Inggris terhadap 1.800 orang. Survei juga menemukan 1 dari 10 orang tidak menghabiskan resep antibiotik dan akan mengonsumsinya sisanya jika suatu hari sakit kembali.
Meski survei tersebut dilakukan di Inggris, sebenarnya penggunaan antibiotik yang tak rasional terjadi hampir di banyak tempat, termasuk Indonesia. Mengutip laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2005 ditemukan rata-rata 50 resep obat di puskesmas dan rumah sakit di Indonsia mengandung antibiotik.
Hasil serupa ditemukan dalam studi Yayasan Orangtua Peduli. Sebanyak 86,4 persen anak penderita infeksi virus yang ditandai dengan demam dan 74,1 persen anak penderita diare diresepkan dengan antibiotik.
Antibotik adalah penemuan yang penting dalam dunia kesehatan. Namun obat ini tidak bisa mengobati semua penyakit. Penggunaan yang tidak rasional akan membawa keburukan daripada kebaikan.
Kebiasaan memberikan antibiotik dengan dosis yang tidak tepat, frekuensi pemberian yang keliru, dan waktu pemberian yang terlalu lama atau cepat mengurangi efikasi antibiotik sebagai pembunuh kuman. Terapi yang tidak efektif akan menimbulkan resistensi obat yang serius.
Menurut HPA 30 persen responden membeli antiobiotik setiap tahunnya. "Ini membuktikan bahwa makin sering kita mengonsumsi antibiotik, makin besar kemungkinannya mengalami resistensi. Efek samping lainnya adalah menderita diare karena antibiotik," kata Dr.Clioda McNulty, dari HPA.
HPA juga merekomendasikan agar para tenaga kesehatan membatasi keinginan pasien akan antibotik karena 97 persen responden mengatakan terakhir kali mereka minta antibotik pada dokter, mereka langsung diberikan resep.
"Meski sudah bertahun-tahun dikampanyekan akan bahaya resistensi obat dan bahwa penyakit flu dan batuk tidak bisa disembuhkan dengan antibotik, nyatanya mitos yang salah ini masih dipercaya," kata McNulty.
Sumber : Kompas.com