Menulislah secara sangat bebas tanpa mempedulikan struktur kalimat dan tata bahasa. Niscaya Anda akan terbebaskan dari segala deraan batin. (Dr. James W. Pennebaker)
Menulis membuat hidup menjadi bergairah. Letupan-letupan perasaan, gejolak gagasan, menuntun jari-jemari untuk mengeja huruf demi huruf, merangkai kata demi kata, menuturkan kesatuan pikiran dan perasaan. Kebebasan menulis berpijak pada keleluasaan menuangkan segala rasa yang dirasakan, tidak terbatas pada aturan-aturan penulisan. Menulis bukan sekedar merangkai sejumlah kata-kata hingga menjadi sebuah alur cerita yang memiliki makna. Menulis bisa membuat perasaan bahagia yang luar biasa. Menyembuhkan berbagai trauma dan menjadi terapi jiwa.
Banyak penelitian psikologis yang membuktikan bahwa menulis dapat mengurangi tekanan jiwa, distress dan salah satu jalan menuju kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Orang yang hobi menulis pasti akan menuliskan apa yang dia sukai dan dia inginkan. Orang yang terbiasa menulis akan menuliskan segala yang dilihat didengar dan dirasakannya. Seorang penulis tak akan pernah berhenti menuliskan semua hal yang ingin dituliskannya tanpa terbatasi ruang dan waktu. Menulis itu menggugah pikiran dan perasaan, open up pintu-pintu mind hingga membentuk sebuah alur menuju penuturan dalam sebuah tulisan. Menjadi kepuasan, kebahagiaan dan kekuatan untuk setiap pribadi yang memaknainya.
Taruhlah perasaan pada sebuah tulisan, niscaya kita akan merasa terpuaskan. Apa pun bentuk dan isi tulisannya. Kesenangan dan kepuasan itulah yang menjadikannya sebagai terapi yang memungkinkan kesembuhan bagi para penderita ketidakseimbangan emosi. Logikanya, mengekspresikan kemarahan, rasa senang atau kekecewaan lewat tulisan itu seperti kita mengungkapkan kemarahan dengan ucapan, hanya medianya berbeda, bukan orang yang ingin kita marahi, melainkan kertas, pena atau sebuah komputer.
Therapy seperti ini sepertinya sangat sesuai untuk orang-orang yang cenderung introvert, sulit terbuka dan berbagi beban dengan orang lain. Perasaan kesal atau marah yang bertumpuk bisa menyebabkan gangguan pada fisik juga, seperti maag bahkan myom. Dalam sebuah tausyiah, seorang ibu rumah tangga pernah mengeluhkan penyakit myom yang dideritanya. Ia meminta kepada ustadz untuk memberikan jalan keluar bagi penyakitnya karena secara medis sudah divonis tidak bisa disembuhkan. Pa Ustadz pun memberikan sebuah solusi spiritual yang secara medis pun sangat logis. Menurutnya, si ibu harus menghilangkan kejengkelan-kejengkelan di hatinya yang terus bertumpuk dan tak tersembuhkan. Si ibu pun mengakui bahwa selama beberapa tahun, ia menyimpan kekesalan dan kejengkelan terhadap suaminya yang tidak bisa menghilangkan kebiasaannya merokok. Ini merupakan salah satu bukti bahwa kejengkelan perasaan mempengaruhi kesehatan pikiran, sehingga organ-organ tubuh lain menjadi lemah karena asupan dan rangsangan berbagai simpul saraf pun ikut melemah. Masalah yang awalnya terlihat biasa dan sangat sepele bisa berdampak luar biasa dan berbahaya jika tidak ditemukan solusinya. Kasus ini juga membuktikan bahwa menahan beban perasaan lebih menderita daripada sakit fisik yang kentara dan terdiagnosa.
Menyalurkan kemarahan, kebencian dan kekecewaan dengan menulis bisa memberikan efek positif bagi penulisnya. Kelegaan yang didapat sama dengan kepuasan orang-orang yang biasa curhat dengan teman atau sahabatnya. Menulis lebih aman dan nyaman daripada berbicara ke sana kemari mengadukan perasaan. Makanya, banyak penelitian psikologis yang telah membuktikan bahwa menulis dapat menghilangkan efek traumatis pada orang-orang yang menderita gangguan psikologis atau mengalami trauma tertentu. Dengan menuliskan pengalaman pahit atau kenyataan pahit yang dialaminya, trauma seseorang bisa berkurang. Jika hal ini dilakukan secara intensif, kesembuhan adalah sebuah keniscayaan. Yang penting motivasi, keyakinan dan kepercayaan akan kesuksesan/kesembuhan itu tetap dijaga. Insya Allah. (Neea)