Baru pagi hari tadi Kementerian Luar Negeri memberikan serupa. Almarhumah sudah dimakamkan di Mekkah setelah dieksekusi pada Sabtu, 18 Juni 2011.
Anak ketiga Ruyati, Iwan Setiawan (27), menyesalkan tidak adanya pertanggungjawaban dari pihak perusahaan pengirim ibunya, PT DGU. Menurut dia, sejak Ruyati dipenjara pada 12 Januari 2010, perusahaan itu tidak pernah sekalipun memberi kabar tentang nasib ibunya.
Selama ini, perkembangan kasus Ruyati mereka terima secara rutin melalui telepon dari seorang TKW asal Lampung bernama Marni. "Dia itu TKW yang bekerja pada anak majikan ibu saya," ujarnya.
Sebelum berangkat ke Saudi terakhir kali, pada bulan Agustus 2008, Ruyati sempat memalsukan KTP. "Umur Ibu dibuat muda 11 tahun, atas permintaan perusahaan. Supaya lancar dan tidak menemui kendala," Iwan menambahkan.
Keluarga sempat berkeberatan Ruyati berangkat jadi TKW untuk ketiga kalinya. "Ibu juga sudah tua. Seharusnya istirahat saja di rumah, nggak usah kerja lagi di Saudi," ucap Iwan.
Menurut anak kedua Ruyati, Epi Kurniati (27), ibunya memaksa pergi ke Saudi karena tidak ingin menyusahkan anak-anaknya di masa tua nanti. "Kami sekeluarga sudah melarang dengan segala cara, tapi ibu tetap nekat," katanya.
Ruyati binti Sutadi (54) meninggalkan tujuh orang cucu dan tiga anak yang semuanya sudah berkeluarga. Dia sendiri sudah bercerai dengan suaminya, saat keberangkatan kedua ke Arab Saudi.
"Saya sudah sakit-sakitan dan ingin dijaga istri. Tapi dia tetap nekat berangkat, akhirnya kami bercerai," ungkap Ubedawi dengan suara terbata-bata menahan sedih.
Pada keberangkatan pertama, Ruyati sempat bekerja di Madinah selama lima tahun, yang kedua enam tahun, dan yang ketiga satu tahun empat bulan. "Pada keberangkatan pertama dia ingin menyekolahkan anaknya, Epi, di sekolah perawat. Sedangkan pada keberangkatan kedua dia ingin membelikan angkot untuk Iwan," ungkap Een.
Sebelum terjerat kasus hukum, selama sembilan bulan pertama bekerja di Mekah, Ruyati sempat mengirim uang sebanyak dua kali ke rumah, masing-masing sebesar Rp9 juta.
Dari informasi yang diterima keluarga, sejak awal bekerja pada majikannya--namanya Heriya--Ruyati kerap disiksa. "Bahkan, waktu tiga bulan pertama kaki ibu saya patah. Tapi dia tidak dibawa ke rumah sakit dan hanya dirawat oleh anak majikannya yang juga seorang dokter," tambah Een lagi.
Berdasarkan kabar dari teman sesama TKW, kaki Ruyati patah akibat perlakuan sang majikan, Heriya. "Saya yakin ibu saya tidak bersalah. Dia hanya membela diri," ucap Eeen sambil mengusap air matanya. (Laporan: Erik Hamzah, Bekasi | kd)
Sebelum dieksekusi mati melalui hukum pancung, Pemerintah Arab Saudi sudah mengupayakan keringanan hukuman bagi Ruyati binti Satubi. Sesuai aturan hukum yang berlaku di Arab Saudi, upaya mediasi dilakukan untuk mendapatkan maaf dari keluarga korban bekas majikan Ruyati yang menjadi korban tewas.
Demikian disampaikan Menkum HAM Patrialis Akbar dalam keterangan pers kepada wartawan di ruang VIP Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Minggu (19/6/2011).
"Berdasarkan informasi yang kita dapat dari Duta Besar RI di Arab Saudi, Bapak Gatot, pemerintah Arab Saudi sebenarnya sudah melakukan sejumlah upaya untuk meringankan hukuman terhadap diantaranya mendapatkan status ta'zir dengan meminta keluarga korban untuk memaafkan Ruyati. Tapi upaya itu tidak membuahkan hasil," ujarnya.
Dikatakan Patrialis, menurut ketentuan hukum di Arab Saudi, eksekusi mati bisa saja dibatalkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan. Namun dalam kasus Ruyati, keluarga korban tidak bersedia memaafkan pelaku sehingga eksekusi mati tetap dijalankan.
"Di pengadilan, Ruyati tidak membantah sama sekali telah membunuh majikan perempuannya. Jadi sesuai ketentuan hukum disana, pelaku pembunuhan akan mendapatkan Qishas, hal itu juga berlaku bagi warga negara Arab Saudi sendiri," kata Patrialis.
"Jangan sampai persoalan ini membuat hubungan diplomatik kita dengan Arab Saudi menjadi runyam. Kita berharap kasus ini tidak dipolitisasi dan digoreng lagi untuk menyudutkan pemerintah karena sebenarnya pemerintah berkomitmen untuk melindungi seluruh warga negaranya," kata Patrialis.
Soal adanya wacana untuk menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi, Patrialis mengatakan, saat ini ada sekitar 1,5 juta TKI yang sedang mencari nafkah di negeri kaya minyak tersebut dan hanya beberapa di antaranya yang tersandung masalah.
Dengan demikian, wacana penarikan dan penghentian pengiriman tenaga kerja ke sana akan runyam karena banyak juga TKI yang menikmati kerja di sana.
"Soal TKI yang tersangkut masalah hukum tidak hanya terjadi di Arab Saudi. Juga terjadi di Malaysia dan negara-negara lainnya. Selama ini kita terus berupaya sekuat tenaga untuk memberi perlindungan dan bantuan hukum. Jadi, jangan ada anggapan kalau pemerintah itu diam saja," tukasnya.
Sumber