1. Kaka (Milan ke Manchester City, 2009)
Peristiwa ini mungkin menjadi salah satu yang tak akan terlupakan! Januari 2009. Milan yang saat ini tengah mengalami persoalan finansial telah didekati oleh klub kaya baru Manchester City. Apakah dirayu menjadi kata yang tepat? Boleh jadi tidak. Setidaknya jika sang pelamar telah menyodorkan £100 juta boleh jadi akan sulit untuk menolaknya.
Tapi kenyataan berjalan berbeda. Media meragukan tawaran City. Begitu juga dengan para fans. Mereka membuka tenda-tenda dan bermukim di dekat kediaman Kaka. Kaka menyambut fans. Ia kibarkan juga seragam Milan dari balik jendela. Namun sekejap semuanya berubah. Kaka bertahan. Sementara media menyuarakan "Grande Kaka!", "Grande Milan!", dan juga "Grande Presiden!". Ya tentu saja acungan buat Silvio Berlusconi.
Lantas apakah kemudian Kaka menjadi pindah ke City? Tidak. Milan pun akhirnya mengikuti desakan fans untuk mempertahankan pemain bintangnya meski gelontoran jutaan euro siap mengalir dari seberang. Semuanya sempatberjalan mulus di Milanello. Tapi tidak sampai enam bulan kemudian karena Kaka akhirnya pergi juga. Bukan ke City, melainkan ke Real Madrid.
2. Gigi Meroni (Torino ke Juventus, 1967)
Tanyakanlah pada seorang fan Inter Milan yang usianya seumuran dengan nama seorang pemain Torino ini. Tak akan diragukan hanya akan ada satu kata; Meroni. Sebagai seorangwinger, Gigi Meroni adalah salah satu pemain terbaik di posisinya pada masa karirnya. Tak heran juga ketika akhirnya Juventus berminat kepadanya pada musim panas 1967.
Sebuah perpindahan dari satu klub lokal ke tempat lainnya tak jarang berjalan rumit. Itulah yang juga terjadi pada Meroni yang memilih bertahan dengan Torino. Tapi tahukah Anda mengapa bisa terjadi?
Sepakbola dan politik telah bercampur. Sempat beredar rumor jika buruh pabrik Fiat mengancam akan mogok jika proses transfer itu terwujud. Ya, Fiat memang perusahaan yang mempekerjakan orang kelas pekerja dari Torino yang lebih condong kepada Granata Torino. Sebaliknya para bos adalah orang-orang Agnelli yang mengendalikan Juventus.
Situasi kian bertambah buruk. Beberapa bulan setelah musim baru dimulai, Meroni ditabrak mobil ketika hendak menyeberang jalan untuk menelepon tunangannya usai menang 4-2 atas Sampdoria. Nyawanya tak selamat. Ia pun meninggal di usia 24 tahun. Lalu setelah kematian Meroni, Juventus dan Torino menggelar laga persahabatan. Il Toro menang 4-0.
3. Giuseppe Signori (Lazio ke Parma, 1995)
"Saya berusaha menjual, saya mundur dari semua kantor, saya sangat kecewa dan tak ingin lagi membuat kesepakatan dengan olahraga lagi."
Begitulah penggalan kalimat yang pernah disampaikan Sergio Cragnotti, sosok yang pernah berusaha untuk menjual Beppe Signori. Signori adalah bomber subur yang sulit dihentikan untuk mencetak gol.
Ia adalah pencetak gol terbanyak Serie A Italia selama dua musim. Striker Lazio ini menjadi bagian penting dalam membawa klubnya ke puncak sebagai runners-up Serie A pada 1994/95.
Sayangnya, Signori tak pernah bisa memenangkan trophy bergengsi dan juga gagal untuk memberi pengaruh buat tim nasional. Namun demikian hal ini tidak memengaruhi Parma untuk menawarkannya dengan jumlah besar. Lazio sepatutnya menerima.
Tapi itu kesalahan besar. Para fans meradang. Mereka turun ke jalan, memprotes keputusan pemilik klub Sergio Cragnotti untuk menjual aset berharganya.
Cragnotti pun mundur. Ia bersumpah untuk tak mau lagi terlibat dalam kegiatan olahraga. Sementara Lazio secara sigap menarik semua pembicaraan soal transfer Signori.
4. Maurice Johnston (Nantes ke Celtic, 1989)
Maurice Johnston adalah salah satu aset yang sempat menjadi rebutan antara Nantes dan Celtic. Setelah sempat melakukan serangkaian pembicaraan, ia bukan berlabuh ke Celtic.
Tapi ia memilih untuk bergabung ke Rangers. Keputusan itu diambil beberapa hari setelah ia sempat berbicara di Celtic Park. Dalam jumpa pers, Johnston sempat berkata,"Celtic adalah satu-satunya klub yang ingin saya bela..."
Dampak kepindahan ini telah membuat publik Skotlandia menjadi lebih sensitif. Karena inilah kali pertama dalam beberapa dekade Rangers membuat sebuah keputusan mengontrak pemain besar dengan latar belakang Katolik. Kehadirannya di Rangers memberikan pengaruh besar bagi kemajuan klubnya dalam kompetisi domestik.
5. Alfredo Di Stefano (Millonarios ke Barcelona, 1953)
Hari-hari El Dorado -- Liga Emas Kolombia -- itu berakhir ketika Alfredo Di Stefano pergi ke Spanyol. Sisanya, seperti yang mereka katakan, adalah sejarah buat Real Madrid.
Menjadi sejarah karena kedatangannya ke Spanyol ketika itu adalah untuk membahas perihal transfer dirinya dari Millonarios kepada Barcelona pada 1953. Tapi konflik muncul di sini yang terjadi antara agen dan perantara. Di Stefano pun bimbang.
Pembahasan kontrak menjadi begitu rumit. Pada saat itu Santiago Bernabeu membujuk Di Stefano untuk bergabung ke Real Madrid. Dan akhirnya Di Stefano pun bergabung ke Madrid dan tidak pernah mengenakan seragam Blaugrana.
6. Preben Elkjaer (Lokeren ke Arsenal, 1984)
Pada dekade 1980-an, Arsenal dikenal dengan reputasinya yang kerap menggaet talenta-talenta yang belum punya nama. Utamanya yang berasal dari negara-negara Eropa utara.
Satu di antaranya yang diinginkan Arsenal adalah Preben Elkjaer. Kesepakatan dilakukan dengan pihak Lokeren, klub tempat Elkjaer bernaung. Tapi proses transfer ke Highbury itu urung terwujud.
Arsenal ternyata lebih memilih Paul Mariner. Sayang striker ini tidak bisa bersinar. Sebaliknya Elkjaer justru mampu menjadi bintang dari Piala Dunia 1986. Ia pun tercatat sebagai salah satu striker terhebat Denmark sepanjang masa.
Sedangkan di level klub, tak lama setelah Arsenal menolaknya, Elkjaer berlabuh ke Italia. Ia berhasil tampil sebagai pemain bintang bersama Hellas Verona sekaligus juga membantu klub Veneto tersebut memenangkan Scudetto pada debut musimnya.
7. Mikel John Obi (Lyn ke Manchester United, 2005)
Ini menjadi salah satu proses transfer yang menyulitkan. Pada 29 April 2005, Manchester United sempat mengumumkan telah berhasil mencapai kesepakatan dengan Lyn Oslo untuk mengontrak Mikel John Obi.
Tapi kenyataan berbicara lain. Mikel yang kurang dikenal para fans tapi cukup dikenal di kalangan agen pemain, justru merapat ke Chelsea. Perpindahan ini menguras energi cukup besar. Sempat beredar kabar jika dia telah ditekan oleh pemilik klub Lyn Oslo untuk ke Chelsea.
Namun untuk membawa pemain asal Nigeria ini Chelsea harus menguras dana besar. Setidaknya ia harus memberikan £4 juta kepada Lyon, £12 juta lainnya kepada United. Barulah transfer itu berjalan dan Mikel berlabuh ke Stamford Bridge.
8. Arjen Robben (PSV ke Manchester United, 2004)
Tak banyak orang yang ingin berkunjung ke Manchester pada musim dingin Januari, kecuali hanya mereka yang ingin dikontrak oleh Manchester United. Cerita itu sempat menjadi jalan yang hendak dituju oleh Arjen Robben saat dia tiba di Old Trafford pada musim dingin dari penghujung musimnya di PSV.
Proses berjalan ketika perwakilan PSV hadir untuk membahas negosiasi. Namun di bagian akhir negosiasi, tawaran yang disodorkan Alex Ferguson kepada klub asal Belanda itu masih terlalu rendah. Akhirnya, enam bulan kemudian, Chelsea memanfaatkan peluang untuk menggaet Robben. Kepindahan itu membuat sejumlah fans United belum bisa memaafkan Robben. Tapi apakah kemarahan itu memang sudah dialamatkan kepada orang yang tepat?
9. Aaron Ramsey (Cardiff City ke Manchester United, 2008)
Aaron Ramsey sempat menyimpan cerita di hati Manchester United. United mengaku telah berhasil mencapai sebuah kesepakatan dengan Cardiff City untuk mengontrak pemain berusia 17 tahun. Pemain muda asal Wales ini diyakini akan bisa menjadi tandem bersama Ryan Giggs. Fans United pun telah bersiap untuk menyambut kedatangan pemain muda berbakat itu di Old Trafford.
Tapi cerita berubah arah. Arsene Wenger menelikung. Pelatih Arsenal ini cukup dikenal sebagai seorang pelatih yang selalu senang memoles pemain-pemain muda menjadi bintang. Wenger meminta kepada kasir Arsenal untuk menyediakan dana £5 juta.
Ramsey dilema. Ia bingung apakah harus menuntaskan kepindahannya ke United atau memilih Arsenal. Akhirnya ia memilih ajakan Wenger. Dan dikemudian hari, Ramsey menyatakan dirinya lebih merasa nyaman di Emirates dibandingkan di Old Trafford.
10. Rabah Madjer (Porto ke Inter, 1987)
Wartawan GOAL.com Carlo Garganese pernah menyebut Rabah Madjer memiliki kesempatan menjadi pemain Afrika terbaik sepanjang masa. Tapi semua itu tak pernah terwujud, apakah mungkin karena ia tidak jadi membela Inter Milan?
Setelah menghabiskan 1,5 tahun di Porto dengan penampilannya yang gemilang,Nerazzurri kepincut untuk mendatangkan permata dari Aljazair tersebut. Rabah senang. Tapi ia gagal mewujudkan kegembiraannya itu karena tak bisa melewati fase terakhir uji kesehatan.
Sebaliknya Madjer harus memikul rasa tidak bahagianya bersama Valencia. Enam bulan setelah meneken kontrak ia dibuang. Madjer pun kembali ke Porto pada 1988 dan berhasil memenangkan dua gelar liga dan meraih gelar Piala Super Eropa. Sebelum menutup karir, ia sempat mengantarkan negaranya meraih juara pada Piala Afrika 1990 serta sempat menghabiskan waktu dengan merumput di Qatar.
Sumber: http://www.goal.com/id-ID/news/2279/editorial/2010/10/27/2185146/spesial-sepuluh-transfer-yang-urung-terjadi