KM Tampomas II terbakar dan karam di laut, pada 27 Januari 1981, merenggut ratusan nyawa penumpangnya. Tak ada pejabat terkait yang bertanggungjawab. Padahal kapal tua itu dibeli dengan harga dua kali lipat harga kapal baru.
Kecelakaan pelayaran nasional yang cukup tragis di Indonesia adalah tenggelamnya kapal motor penumpang (KMP) Tampomas II di sekitar Kepulauan Masalembo (114� 25'60?BT�5� 30'0?LS) Laut Jawa, masuk wilayah administratif provinsi Jawa Timur.
Tampomas II berlayar dari Jakarta menuju Sulawesi dengan membawa puluhan kendaraan roda empat, sepeda motor dan 1.054 penumpang terdaftar serta 82 kru kapal. Perkiraan mengatakan total manusia di kapal tersebut adalah 1.442 orang (perkiraan tambahan penumpang gelap). Dalam kondisi badai laut di malam hari, tanggal 26 Januari beberapa bagian mesin mengalami kebocoran bahan bakar, diduga percikan api timbul dari puntung rokok yang melalui kipas ventilasi menjadi penyebab kebakaran.
Para kru, kendati melihat, namun gagal memadamkannya dengan tabung pemadam kebakaran portable. Api menjalar ke dek lain yang berisi muatan yang mudah terbakar, asap menjalar melalui jalur ventilasi dan tidak berhasil ditutup. Api semakin membesar di kompartemen mesin karena pintu dek terbuka. Selama dua jam, tenaga utama mati, generator darurat pun gagal, dan usaha memadamkan api gagal sama sekali.
Tiga puluh menit setelah api muncul, dan menjalar kemana-mana, para penumpang diperintahkan untuk segera menaiki sekoci. Perintah evakuasi ini sebenarnya sangat terlambat. Sebab, akses menuju sekoci hanya satu. Sebagian penumpang memilih terjun bebas ke laut untuk menghindari kobaran api. Sebagian lagi menunggu di dek dan panik menunggu pertolongan selanjutnya.
Laut Jawa, pada 26 Januari itu, ditengah terpaan hujan deras, kebakaran di kapal itu makin menggila. Api kini menjalar ke ruang mesin, di mana terdapat ruang bahan bakar yang tidak terisolasi. Dini hari, 27 Januari, terjadi ledakan dan membuat air laut masuk ke ruang mesin. Ruang propeler dan ruang generator terisi air laut, membuat kapal tiba-tiba miring 45� dan tenggelam, terhitung 30 jam sejak percikan api pertama menjalar.
Sampai tanggal 29 Januari, tim SAR gagal melakukan pencarian karena kondisi laut yang masih diterpa badai. Lima hari kemudian 80 orang yang selamat dalam sekoci ditemukan 150 kilometer dari lokasi kejadian karamnya Tampomas II.
Estimasi tim menyebutkan 431 tewas�143 ditemukan mayatnya dan 288 hilang atau karam bersama kapal�dan 753 berhasil diselamatkan. Sumber lain menyebutkan 666 orang tewas.
Kapal yang dinakhodai oleh Kapten Rifai ini merupakan kapal bekas yang dibeli dari Belanda. Isu yang beredar adalah, kapal motor kelas Screw Steamer, bernomor lambung 6073, dibangun tahun 1956, berukuran 6.140GRT, yang sudah berumur lebih dari 25 tahun, itu dibeli dari Jepang, lalu dimodifikasi tahun 1971. Hasil investigasi, jelas menyebutkan bahwa kapal tersebut adalah kapal bekas yang dipoles dan dijual dengan harga dua kali lipat kapal baru.
Aroma korupsi dalam pembelian kapal itu santer tercium. Namun tidak ada yang dapat berbuat apa-apa ketika itu. Era Orde Baru yang menerapkan sistem presidensil yang keras, membuat semua bukti tidak dapat diperoleh, dan pihak-pihak terkait saling lempar tanggung jawab. Aksi cuci tangan besar-besaran pemerintah ketika itu, sangat melukai perasaan banyak orang, terlebih keluarga para korban.
Tak adanya pejabat kompeten yang mau bertanggungjawab, membuat tudingan diarahkan kepada awak kapal. Kecelakaan itu murni kesalahan mereka, balas pemerintah. Aksi peng-kambinghitaman awak kapal itu ditutupi dengan rapi oleh Kejaksaan Agung, melalui sebuah badan penyidik yang diketuai oleh Bob Rusli Efendi Nasution. Sebagai kepala tim penuntutan perkara, Bob Rusli EN tak kunjung menuntut satu pun pejabat yang diduga terlibat pembelian mark-up itu. Salah satunya, J.E. Habibie, yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Perla.
Skandal ini kemudian ditutup-tutupi oleh pemerintahan Presiden Soeharto, kendati banyak tuntutan pengusutan dari sebagian anggota parlemen. Dalam suatu acara dengar pendapat yang diadakan DPR-RI perihal kasus ini, Menteri Perhubungan menolak mentah-mentah permintaan para wakil rakyat untuk menunjukkan laporan Bank Dunia yang merinci pembelian kapal bekas senilai US$ 8,5juta itu.
Bahkan, makelar pembelian kapal�Tampomas II�Gregorius Hendra yang mengatur kontrak pembelian antara Jepang dan Pemerintah Indonesia, itu pun lepas dari tuntutan Kejaksaan Agung.
Sekadar menutup aib peristiwa naas Tampomas II, setelah peristiwa itu, PT Pelni kemudian melakukan peremajaan kapal-kapalnya. Kapal-kapal yang lebih besar dibeli dan didatangkan dari Jerman. Sebagian memang bukan kapal baru, alias bekas, namun masih sangat layak pakai.
Kecuali KM Rinjani yang kini memperkuat armada logistik TNI Angkatan Laut, melalui program hibah pemerintah, puluhan kapal dalam berbagai ukuran kian memperamai jalur transportasi laut. KM Kambuna, KM Kerinci, KM Umsini, KM Tidar, dan KM Tilong Kabila, serta masih banyak lagi lainnya, adalah sederet kapal penumpang yang merajai dan mendulang milyaran rupiah sebelum memasuki era tiket murah pesawat udara, di awal tahun 2000.