Kehadiran reformasi dinilai membawa berkah bagi kebebasan terutama dalam bidang politik. Tetapi, kebebasan itu justru dibarengi dengan adanya dekonstruksi pada tataran ideologi. Hal ini tak lepas dari tindakan Orde Baru yang menggunakan Pancasila untuk memberangus lawan politik.
"Hal itu disebabkan pemaknaan Pancasila dianggap pernah dipolitisasi oleh Orba sebagai hegemoni indoktrinisasi dan alat pelarangan berkembangnya ideologi-ideologi di luar Pancasila," ujar Wasekjen MUI, Noor Achmad, dalam Sarasehan bertajuk 'Mewaspadai Kebangkitan Neo-Komunisme' yang digelar Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat di Mess PPAD, Jl Matraman Raya, Jakarta, Rabu (14/11).
Achmad mengatakan, reformasi kini juga telah memunculkan dua kubu ideologi, yaitu ektrim kanan yang diasosiasikan dengan gerakan radikal Islam dan ekstrim kiri yang diasosiasikan dengan gerakan komunisme.
"Ektrem kanan sangat mudah dideteksi karena telah berevolusi menjadi gerakan terorisme berbasis agama, tetapi perkembangan paham komunisme lebih sulit dideteksi karena berevolusi secara halus," kata Achmad.
Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Asad Said Ali menyatakan, kebebasan politik yang dibawa reformasi hanya sebatas prasyarat menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu menyebabkan timbulnya berbagai konflik dalam dimensi sosial.
"Liberalisasi itu juga telah merasuk jauh ke dalam ranah sosial. Kita bisa lihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang kehilangan persaudaraan. Konflik-konflik sosial sering terjadi, di mana akarnya adalah perubahan dalam masyarakat yang memandang pihak lain sudah menggunakan sudut pandang politis," kata Asad.
Asad menambahkan, hal ini telah menimbulkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap pihak lain, yang menempatkan mereka sebagai 'musuh'. Menurut dia, hal ini merupakan indikasi paham liberalisme telah mempengaruhi politik Indonesia.
"Paham liberalisme dan neoliberalisme sudah secara nyata menguasai kehidupan bernegara kita," tegas Asad.
Lebih lanjut, Ketua PPAD Letjen (Purn) TNI Soerjadi menegaskan, masyarakat perlu menggalang persatuan untuk menghalai kuatnya pengaruh paham-paham di luar Pancasila. Ini karena paham-paham itu telah menimbulkan kesenjangan yang dalam dan terkesan dilindungi oleh penyelenggara negara.
"Perilaku ini banyak terjadi sehingga menimbulkan kesenjangan yang sangat dalam. Kelihatannya penyelenggara pemerintahan menikmati hal itu sehingga berpotensi lahirnya kembali paham-paham ideologi di luar Pancasila," pungkas Soerjadi.